Kamis, 19 Desember 2013

Faktur Pajak-Tata cara pembuatannya

Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

§  Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh PKP yang bersangkutan.
§  Dibuat minimal rangkap dua (lembar pertama untuk pembeli BKP/penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan dan lembar kedua untuk arsip PKP penjual sebagai bukti Pajak Keluaran).
§  Bila dibuat lembar ketiga harus disebutkan peruntukannya. Misalnya, untuk Kantor Pelayanan Pajak.
§  Bentuk dan ukuran Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan apabila diperlukan, dapat ditambahkan keterangan lain.
§  Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (5) Undang-Undang PPN, dan pengisiannya sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-24/2012 dan PER-08/2013, dipersamakan dengan Faktur Pajak.
§  Dalam hal keterangan  Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak maka Pengusaha Kena Pajak dapat:
1)      membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak yang masing-masing formulir harus menggunakan Kode, Nomor Seri, dan tanggal Faktur Pajak yang sama, serta ditandatangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya. Khusus untuk pengisian jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan Pajak Pertambahan Nilai cukup diisi pada formulir terakhir Faktur Pajak; atau
2)      Apabila Faktur Pajak berbeda dengan Faktur Penjualan dapat juga membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang menunjuk nomor dan tanggal faktur-faktur Penjualan yang merupakan iampiran yang tidak terpisahkan dari Faktur Pajak tersebut, apabila Faktur Penjualan dibuat berbeda dengan Faktur Pajak.

FAKTUR PAJAK-pendahuluan

Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan khususnya jenis Pajak Pertambahan Nilai, diperlukan pemahaman dan pengertian yang benar tentang Faktur Pajak karena Faktur Pajak adalah media bagi Pengusaha Kena Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan untuk jenis pajak pertambahan nilai sehingga kesalahan dalam pengertian yang berdampak pada penerapannya akan menimbulkan kerugian bagi Pengusaha Kena Pajak tersebut, untuk itu penulis akan mencoba membahas topik faktur pajak secara bertahap dengan harapan dapat para pengusaha kena pajak dapat lebih memahami peraturan perpajakan terkait faktur pajak ini adalah tulisan dari beberapa topik terkait faktur pajak.

PENDAHULUAN

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak harus memuat:
1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP/JKP.
2. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut.
6. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
7. Nama, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
 Formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana disebutkan diatas
 Material, apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Selasa, 10 Desember 2013

PPh 22 impor - 2

PPh 22 Impor
Dasar Hukum
ü  UU PPh
ü  PMK-154/PMK.03/2010
ü  PMK­224/PMK.011/2012

Bahwa setiap WP yang melakukan impor dikenakan PPh Pasal 22 Impor oleh Ditjen Bea dan Cukai atau Bank Devisa kecuali yang mendapat fasilitas pembebasan. Besamya PPh Pasal 22 impor adalah sebagai berikut:

Atas impor:
(1)    Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% x nilai impor,
(2)    Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API) sebesar 7,5% x nilai impor, dan/atau
(3)    Yang tidak dikuasai (dilelang oleh Ditjen Bea Cukai) sebesar 7,5% x harga jual lelang.

Nilai impor adalah nilai uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk, yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan Iainnya yang dikenakan berdasar ketentuan kepabeanan di bidang impor.

Untuk menghitung Nilai Impor digunakan kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Impor Barang untuk Kegiatan yang kena PPh Final :
SE-28/PJ.431/1998 jo. SE-32/PJ.43/1998 memberikan pengaturan sebagai berikut:
1.       Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan/jasa yang atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh Final, tidak dikenakan PPh Pasal 22 Impor.
2.       Untuk itu, WP harus minta Surat Keterangan Bebas (SKB) kepada KPP setempat atas impor barang yang beisangkutan.
3.       Apabila di kemudian hari diketahui bahwa atas impor barang dimaksud dimanfaatkan untuk kegiatan yang penghasilannya bukan merupakan objek PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih berikut sanksi bunganya.

Tentang Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) :
Permohonan SKB (Surat Keterangan Bebas) juga dapat diajukan selain atas penghasilannya WP dikenakan pajak yang bersifat final, yaitu :
Pasal 21 PP No 94 tahun 2010 menyebut bahwa jika WP dalam suatu tahun pajak dapat membuktikan tidak akan terutang PPh karena:
(1)    Mendapat rugi fiskal,
(2)    Berhak melakukan kompensasi rugi fiskal, atau
(3)    PPh yang telah dibayar melebihi PPh terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan pungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Dirjen Pajak.

PPh 22 impor - 1

PPh Pasal 22 – (Pengenalan)
Menteri Keuangan dapat menetapkan:

a.       Bendahara pemerintah untuk memungut pajak dari pembayaran atas penyerahan barang,
b.      Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wp yang melakukan kegiatan impor atau kegiatan usaha lain, dan
c.       WP badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
d.      Selain menetapkan pemungut pajak, menteri keuangan juga berwenang mengatur dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pph pasal 22

Pemungut dan objek PPh Pasal 22 dibatasi.

Pemungut terbatas pada:
(1)   bendaharawan pemerintah balk pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga Iainnya,
(2)   badan-badan tertentu balk badan pemerintah maupun swasta (tidak termasuk WPOP), dan
(3)   WP badan tertentu penjual barang sangat mewah.

Objek terbatas pada :
(1)   Pembayaran oleh bendaharawan atas penyerahan barang kepadanya,
(2)   Kegiatan impor dan kegiatan usaha lain seperti produksi otomotif dan semen, dan
(3)   Barang sangat mewah baik dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Tujuan pembatasan pemungut dan objek adalah :
(1)   Pemungutan pajak efektif dan efisien;
(2)   Kelancaran lalu lintas barang tidak terganggu;
(3)   Prosedur nya sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Akhirnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengumpulan pajak secara sederhana, mudah, dan tepat waktu

Selasa, 03 Desember 2013

Norma Penghitungan PKP

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan menggunakan norma diatur di Pasal 14 atau Pasal 15 UUPPh.
1.      Pasal 14 diberlakukan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha dan profesi yang omset setahunnya kurang dari Rp 4,8 milyar dan tidak memilih menyelenggarakan pembukuan, (Norma Umum)
2.      Pasal 15 diperuntukkan kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang sebetulnya menyelenggarakan pembukuan tetapi karena alasan teknis matematis penghasilan berdasarkan pembukuan dianggap kurang mencerminkan keadaan yang sebenamya sehingga perlu diberlakukan norma penghitungan khusus. (Norma Khusus)
3.      Wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan neto wajib melakukan pencatatan harian atas peredaran usahanya.
4.      Wajib pajak yang mempergunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak (Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. (pada umumnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya).
5.      Norma berasumsi bahwa pengusaha menjalankan usaha mendapatkan laba, karena itu norma menimbulkan konsekuensi bahwa pengusaha selalu laba dan tidak pernah mengakui adanya kerugian, sehingga tidak ada kompensasi kerugian baik secara horisontal maupun vertikal. Untuk menghindari tidak diakuinya kerugian dan hak kompensasi tersebut, Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib pembukuan dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan sehingga pajak dihitung sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

DASAR HUKUM
Ø  Pasal 14 atau Pasal 15 UU PPh.
Ø  KEP­-536/PJ.2/2000 jo SE-02/PJ.43/2001 (Norma WP Orang Pribadi)
Ø  KMK-416/KMK.04/1996 jo. SE­29/PJ.4/1996, SE-28/PJ.43/1998 dan jo. SE-32/PJ.043/1998 (Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri)
Ø  KMK-­417/KMK.04/1996 jo. SE-32/PJ.4/1996 (BUT Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri)
Ø  KMK-634/KMK.04/1994 jo. Kep Dirjen Pajak Nomor KEP-667/PJ/2001 jo. SE-2/PJ.03/2008 (BUT Perwakilan Dagang Asing)

Senin, 02 Desember 2013

Rangkuman PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

Pengantar-1 "Penyidikan Pajak"

PENGANTAR-1
“PENYIDIKAN PAJAK”

Penyidikan Pajak

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. (Pasal 1 huruf 31 UU.KUP) Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan DIP dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 huruf 32 UU KUP).

Wewenang Penyidik Pajak

Wewenang Penyidik dalam bidang perpajakan adalah:

Ø  Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar menjadi lebih lengkap dan jelas.
Ø  Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan tindak pidana perpajakan.
Ø  Meminta keterangan dan bahan bukti dan orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen­dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
Ø  Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen.
Ø  Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Memanggil orang yang akan dimintai keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Ø  Menghentikan penyidikan.
Ø  Melakukan tindakan lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.

Dimulainya Penyidikan Pajak

Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Penghentian Penyidikan Pajak

Penyidikan terhadap WP dihentikan oleh penyidik apabila dari basil penyidikan:

Ø  Tidak terdapat cukup bukti, atau
Ø  Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau
Ø  Peristiwanya telah daluwarsa, atau
Ø  Tersangka meninggal dunia.
Ø  Dalam hal penyidikan pidana di bidang perpajakan dihentikan, kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka Surat Ketetapan Pajak tetap masih dapat diterbitkan.


Kewajiban Pemberian Data

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi berkaitan dengan perpajakan kepada Dirjen Pajak, seperti data APBN/APBD, pemenang proyek, expatriate, dan data lainnya yang diperlukan Direktorat Jenderal Pajak.

Selasa, 26 November 2013

Biaya dalam tinjauan umum perpajakan

BIAYA SECARA UMUM DITINJAU DARI SISI PERPAJAKAN

Secara prinsip biaya yang dapat dikurangkan dalam perpajakan adalah :
1. Benar-benar Terjadi (Reliable dan measurement)
Terjadi maksudnya adalah didukung oleh bukti yang kuat dan dapat diukur;
2. Relevan
Relevan maksudnya adalah berhubungan dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penghasilan yang merupakan objek PPh umum (tidak termasuk biaya yang berkaitan untuk memperoleh objek PPh final atau penghasilan yang bukan objek PPh).

Dalam UU PPh merumuskan biaya menjadi biaya yang dapat dikurangkan (sumber : Pasal 6 (1) UU PPh) maupun biaya yang tidak boleh dikurangkan (sumber : Pasal 9 (1) UU PPh).

Kategori Biaya :
Biaya-biaya yang timbul dalam laporan keuangan dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan perusahaan karena penghasilan tersebut telah dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
2. Biaya yang tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan perusahaan karena peraturan dan perundang-undangan perpaj akan.
3. Biaya yang dapat dikurangkan dengan penghasilan, yaitu berupa biaya yang masa manfaatnya tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan/atau biaya yang masa manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun. Biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari (satu) tahun merupakan biaya yang terjadi pada tahun fiskal berjalan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, kerugian penjualan harta, kerugian selisih kurs, dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan secara proporsional. Contoh perusahaan melakukan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, maka pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.

Senin, 25 November 2013

Hibah-Bantuan-Sumbangan ditinjau dari pajak

PERLAKUAN PAJAK
ATAS HIBAH/SUMBANGAN/BANTUAN

OVERVIEW :

Karena bagi penerima bukan merupakan objek pajak maka bagi pemberi tidak dapat dibiayakan. Akan tetapi terdapat jenis Hibah-Sumbangan-Bantuan yang mendapatkan pengecualian (Nontaxable-deductible) yaitu :
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga


DASAR HUKUM :

1. Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh
2. Pasal 6 ayat (1) huruf i s/d m UU PPh
3. Pasal 4 ayat (3) UU PPh
4. Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2000
5. PMK-245/PMK.03/2008
6. PP-94 Tahun 2010

PEMBAHASAN :

a) Hibah-Sumbangan-Bantuan (H-S-B) pada prinsipnya tidak dapat menjadi Biaya Fiskal (Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh) karena termasuk dalam pengertian sebagai bukan objek pajak sebagaimana Pasal 4 ayat (3) UU PPh :
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
 Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
Sepanjang tidak ada hubunqan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No.18 tahun 2009
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
Ketentuan ini diatur lebih lanjut PMK-245/PMK.03/2008 dan PP No.94 tahun 2010

b) Hibah-Sumbangan-Bantuan (H-S-B) dapat menjadi Biaya Fiskal diatur pada Pasal 6 ayat (1) huruf i s/d m dan bukan merupakan penghasilan bagi yang menerima

Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang ketentuannya diatur dalam PP No. 93 tahun 2010.

Wujud Sumbangan :
Sumbangan dapat berbentuk uang tunai dan/atau barang (makanan, sembako, pakaian, obat-obatan, kendaraan, dan sebagainya), sarana¬prasarana (bangunan untuk kegiatan olahraga, poliklinik, rumah sakit, keagamaan, seni/budaya dan sebagainya).

Nilai Sumbangan :
Nilai sumbangan berupa aset yang belum disusutkan adalah sebesar nilai perolehannya (harga beli, biaya angkut dan biaya-biaya lain sampai slap digunakan), sedangkan untuk aset yang telah disusutkan adalah sebesar nilai sisa buku fiskal. Nilai sumbangan produksi sendiri sebesar harga pokok penjualan, sedang sumbangan pembangunan infrastruktur sebesar jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan (biaya IMB, nilai kontrak pembangunan, BBN, dan sebagainya).

Pencatatan sumbangan :
Atas sumbangan-sumbangan dimaksud, donatur wajib mencatat sesuai peruntukannya.

Beberapa persyaratan sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
(1) Bukan kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18(4) UUPPh),
(2) Semuanya tidak lebih dari 5% penghasilan neto fiskal tahun sebelumnya.
Misalnya :
PT. XYZ pada tahun 2011 menyumbang sebesar 6 juta, kalau penghasilan neto fiskal tahun 2010 sebesar 60 juta maka jumlah sumbangan 2011 yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar 3 juta.
(3) Tidak menyebabkan rugi fiskal pada tahun pemberian sumbangan,
(4) Didukung bukti dan dokumen yang sah, dan (5) penerima sumbangan mempunyai NPWP. Sementara sumbangan bencana alam harus ada penetapan klasifikasi bencana dari Pemerintah (UU No. 24/2007) diberikan melalui badan penanggulangan bencana atau langsung kepada lembaga yang ditunjuk, sumbangan penelitian dan pengembangan dapat kepada LIPI, PTN, PTS yang terakreditasi, dsb.

KESIMPULAN :
(1) Hibah-Bantuan-Sumbangan apabila masuk kategori bukan objek PPh maka bagi yang memberi tidak dapat dibiayakan.
(2) Khusus sumbangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf i s/d m UU PPh dapat dibiayakan akan tetapi harus memenuhi syarat yang telah ditentukan;
(3) Apabila H-B-S (Hibah-Bantuan-Sumbangan) tidak termasuk pengertian bukan objek pajak atau jika ada hubungan UP3 (Usaha-Pekerjaan-Pemilikan-Penguasaan), maka bagi yang menerima merupakan penghasilan sehingga bagi yang memberikan dapat diakui sebagai biaya. (Taxable-Deductible dan Nontaxable-Nondeductible)

Beasiswa - perlakuan pajak

PERLAKUAN PAJAK ATAS BEASISWA

OVERVIEW :

Bagi pemberi dapat diakui sebagai biaya sedangkan bagi penerima bukan sebagai penghasilan dengan syarat bahwa penerima dan pemberi tidak terdapat hubungan istimewa.

DASAR HUKUM :

1. UU PPh (Psl 4-6-18)
2. PMK-246/PMK.03/2008
3. PMK-154/PMK.03/2009

PEMBAHASAN :

Pemberian beasiswa ini merupakan perwujudan tanggung jawab sosial atau CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan kepada masyarakat untuk aktif berperan serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di sisi lain pemberian beasiswa diharapkan dapat membangun corporate image dan meningkatkan citra perusahaan dimata masyarakat.

Perlakuan Pajak mengenai beasiswa diatur dalam Undang – Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1). Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

Ketentuan Pajak atas Beasiswa Bagi Pihak Penerima Beasiswa

a) Beasiswa Yang Dikecualikan Dari Obyek Pajak Penghasilan

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pasal 8 ayat 1 huruf e beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi penerimanya. Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 sebagaimana dirubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No.154/PMK.03/2009 mengatakan Beasiswa yang dikecualikan dari Obyek Pajak Penghasilan (PPh) adalah Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendidikan non formal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri.

Pendidikan formal yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan Pendidikan non formal yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Adapun komponen beasiswa itu termasuk juga dengan biaya pendidikan (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

b) Beasiswa yang Tidak Termasuk Dalam Beasiswa yang Dikecualikan Dari Obyek Pajak Penghasilan

Peraturan Menteri Keuangan No.154/PMK.03/2009 juga menyebutkan bahwa ketentuan mengenai pengecualian beasiswa dari obyek pajak penghasilan tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan:
 Pemilik;
 Komisaris;
 Direksi; atau
 Pengurus,
Jadi beasiswa yang diterima oleh pelajar, mahasiswa atau karyawan selaku penerima beasiswa dari suatu perusahaan atau institusi dimana penerima beasiswa tersebut memiliki hubungan istimewa sebagaimana disebutkan diatas, adalah beasiswa yang tidak termasuk dalam beasiswa yang dikecualikan dari obyek pajak penghasilan.

Sabtu, 23 November 2013

Surat Keterangan Fiskal adalah media tepat alat seleksi calon pemimpin negara dan penggali potensi penerimaan pajak

Sering kita berbicara bagaimana menggali potensi pajak dan bagaimana kita mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik tapi melibatkan instrumen pajak didalamnya. Pajak memiliki dua fungsi yaitu sumber penerimaan negara dan alat mengatur tata kelola khususnya perekonomian agar tepat flow in dan flow out kekayaan negara ini. Dalam negara yang sehat penerimaan pajak dari jenis Pajak Penghasilan seharusnya lebih besar dari jenis pajak yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Dan bila dikupas lebih daam lagi, dari jenis Pajak Penghasilan tersebut seharusnya lebih besar penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan Orang Pribadi dibandingkan Pajak Penghasilan badan dengan alasan dari sisi kuantitas lebih banyak jumlah Wajib Pajak dan dari sisi kualitas maka badan hanyalah sebagai mediator kekayaan sebenarnya daripada Orang Pribadi pemilik perusahaan tersebut. Contoh-nya pembagian deviden dan likuidasi yang pada akhirnya berujung ke aset Orang Pribadi. Dengan dasar pemikiran tersebut, sangat lah pantas dan tepat jika Direktorat Jenderal Pajak fokus pada penggalian potensi pajak orang pribadi. Sehubungan dengan hal tersebut dan menyimak dari perkembangan waktu menjelang 2014 yaitu menyambut gegap gempita calon calon pejabat negara baik melalui pemilu dan pilkada atau apapun itu jenis dan macamnya, yang nantinya melahirkan calon calon pengelola atau pejabat pengelola negara dan pemerintahaan ini serta mengingat keinginan dan cita-cita rakyat untuk menyerahkan hak suaranya kepada calon yang benar dan tepat untuk itu maka pantas jika sebaiknya usulan agar setiap calon legislatif atau calon apapun namanya yang berpotensi sebagai pengelola negara tercinta ini harus memiliki surat keteranga fiskal. Dan perlu dipertimbangkan adalah penciptaan sistem dan prosedur serta pengawasan agar cita-cita yang mulia ini tidak dikotori oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian maka cita-cita penggalian potensi dan pengaturan menyeleksi calon yang baik, benar dan tepat terwujud. Dengan dasar pemikiran tersebut, penulis mencoba secara singkat untuk mengenalkan kepada pembaca apa itu Surat Keterangan Fiskal. 


Apa itu Surat Keterangan Fiskal?



Surat Keterangan Fiskal (SKF) adalah tax cleareance untuk pengajuan tender

Tujuannya agar Wajib Pajak melunasi tunggakan pajak sebelum mengikuti tender

Dasar Hukumnya :
·         Keppres No.80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah;
·         Peraturan Dirjen Pajak No. PER-69/PJ/2007 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-447/PJ./2001 tentang Tata cara pemberian surat keterangan Fiskal.

Persyaratan :
1.       Tidak sedang berada dalam penyidikan;
2.       Mengisi formulir permohonan sebagaimana lampiran I dan II Per-69 tahun 2007
3.       Dokumen yang perlu dilampirkan :
·         Fotocopy surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun terakhir beserta tanda terima penyerahan surat pemberitahuan tersebut;
·         Fotocopy surat pemberitahuan pajak terutang dan surat tanda terima setoran pajak bumi dan bangunan tahun terakhir
·         Fotocopy surat setoran bea (SSB) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), khusus bagi wajib pajak yang baru memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

Tips dan Trik
1.       Membuat Surat Permohonan sesuai dengan Format lampiran I dan II PER-69 tahun 2007
2.       Melunasi semua utang pajak
3.       Dibuat segera setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan untuk mengantisip
4.       Apabila kantor bukan milik sendiri maka untuk menggantikan persyaratan SPPT dan STTS PBB maka melampirkan surat perjanjian sewa menyewa dilampiri bukti pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2)
5.       Setelah surat keterangan fiscal diterbitkan, langsung segera lakukan legalisasi surat keterangan fiscal tersebut.  Panitia tender biasanya mensyaratkan surat keterangan fiscal yang telah dilegalisasi kantor pajak.

Jangka waktu penyelesaian :
10 hari kerja