Kamis, 19 Desember 2013

Faktur Pajak-Tata cara pembuatannya

Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

§  Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh PKP yang bersangkutan.
§  Dibuat minimal rangkap dua (lembar pertama untuk pembeli BKP/penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan dan lembar kedua untuk arsip PKP penjual sebagai bukti Pajak Keluaran).
§  Bila dibuat lembar ketiga harus disebutkan peruntukannya. Misalnya, untuk Kantor Pelayanan Pajak.
§  Bentuk dan ukuran Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan apabila diperlukan, dapat ditambahkan keterangan lain.
§  Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (5) Undang-Undang PPN, dan pengisiannya sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-24/2012 dan PER-08/2013, dipersamakan dengan Faktur Pajak.
§  Dalam hal keterangan  Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak maka Pengusaha Kena Pajak dapat:
1)      membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak yang masing-masing formulir harus menggunakan Kode, Nomor Seri, dan tanggal Faktur Pajak yang sama, serta ditandatangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya. Khusus untuk pengisian jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan Pajak Pertambahan Nilai cukup diisi pada formulir terakhir Faktur Pajak; atau
2)      Apabila Faktur Pajak berbeda dengan Faktur Penjualan dapat juga membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang menunjuk nomor dan tanggal faktur-faktur Penjualan yang merupakan iampiran yang tidak terpisahkan dari Faktur Pajak tersebut, apabila Faktur Penjualan dibuat berbeda dengan Faktur Pajak.

FAKTUR PAJAK-pendahuluan

Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan khususnya jenis Pajak Pertambahan Nilai, diperlukan pemahaman dan pengertian yang benar tentang Faktur Pajak karena Faktur Pajak adalah media bagi Pengusaha Kena Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan untuk jenis pajak pertambahan nilai sehingga kesalahan dalam pengertian yang berdampak pada penerapannya akan menimbulkan kerugian bagi Pengusaha Kena Pajak tersebut, untuk itu penulis akan mencoba membahas topik faktur pajak secara bertahap dengan harapan dapat para pengusaha kena pajak dapat lebih memahami peraturan perpajakan terkait faktur pajak ini adalah tulisan dari beberapa topik terkait faktur pajak.

PENDAHULUAN

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak harus memuat:
1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP/JKP.
2. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut.
6. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
7. Nama, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
 Formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana disebutkan diatas
 Material, apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Selasa, 10 Desember 2013

PPh 22 impor - 2

PPh 22 Impor
Dasar Hukum
ü  UU PPh
ü  PMK-154/PMK.03/2010
ü  PMK­224/PMK.011/2012

Bahwa setiap WP yang melakukan impor dikenakan PPh Pasal 22 Impor oleh Ditjen Bea dan Cukai atau Bank Devisa kecuali yang mendapat fasilitas pembebasan. Besamya PPh Pasal 22 impor adalah sebagai berikut:

Atas impor:
(1)    Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% x nilai impor,
(2)    Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API) sebesar 7,5% x nilai impor, dan/atau
(3)    Yang tidak dikuasai (dilelang oleh Ditjen Bea Cukai) sebesar 7,5% x harga jual lelang.

Nilai impor adalah nilai uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk, yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan Iainnya yang dikenakan berdasar ketentuan kepabeanan di bidang impor.

Untuk menghitung Nilai Impor digunakan kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Impor Barang untuk Kegiatan yang kena PPh Final :
SE-28/PJ.431/1998 jo. SE-32/PJ.43/1998 memberikan pengaturan sebagai berikut:
1.       Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan/jasa yang atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh Final, tidak dikenakan PPh Pasal 22 Impor.
2.       Untuk itu, WP harus minta Surat Keterangan Bebas (SKB) kepada KPP setempat atas impor barang yang beisangkutan.
3.       Apabila di kemudian hari diketahui bahwa atas impor barang dimaksud dimanfaatkan untuk kegiatan yang penghasilannya bukan merupakan objek PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih berikut sanksi bunganya.

Tentang Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) :
Permohonan SKB (Surat Keterangan Bebas) juga dapat diajukan selain atas penghasilannya WP dikenakan pajak yang bersifat final, yaitu :
Pasal 21 PP No 94 tahun 2010 menyebut bahwa jika WP dalam suatu tahun pajak dapat membuktikan tidak akan terutang PPh karena:
(1)    Mendapat rugi fiskal,
(2)    Berhak melakukan kompensasi rugi fiskal, atau
(3)    PPh yang telah dibayar melebihi PPh terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan pungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Dirjen Pajak.

PPh 22 impor - 1

PPh Pasal 22 – (Pengenalan)
Menteri Keuangan dapat menetapkan:

a.       Bendahara pemerintah untuk memungut pajak dari pembayaran atas penyerahan barang,
b.      Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wp yang melakukan kegiatan impor atau kegiatan usaha lain, dan
c.       WP badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
d.      Selain menetapkan pemungut pajak, menteri keuangan juga berwenang mengatur dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pph pasal 22

Pemungut dan objek PPh Pasal 22 dibatasi.

Pemungut terbatas pada:
(1)   bendaharawan pemerintah balk pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga Iainnya,
(2)   badan-badan tertentu balk badan pemerintah maupun swasta (tidak termasuk WPOP), dan
(3)   WP badan tertentu penjual barang sangat mewah.

Objek terbatas pada :
(1)   Pembayaran oleh bendaharawan atas penyerahan barang kepadanya,
(2)   Kegiatan impor dan kegiatan usaha lain seperti produksi otomotif dan semen, dan
(3)   Barang sangat mewah baik dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Tujuan pembatasan pemungut dan objek adalah :
(1)   Pemungutan pajak efektif dan efisien;
(2)   Kelancaran lalu lintas barang tidak terganggu;
(3)   Prosedur nya sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Akhirnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengumpulan pajak secara sederhana, mudah, dan tepat waktu

Selasa, 03 Desember 2013

Norma Penghitungan PKP

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan menggunakan norma diatur di Pasal 14 atau Pasal 15 UUPPh.
1.      Pasal 14 diberlakukan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha dan profesi yang omset setahunnya kurang dari Rp 4,8 milyar dan tidak memilih menyelenggarakan pembukuan, (Norma Umum)
2.      Pasal 15 diperuntukkan kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang sebetulnya menyelenggarakan pembukuan tetapi karena alasan teknis matematis penghasilan berdasarkan pembukuan dianggap kurang mencerminkan keadaan yang sebenamya sehingga perlu diberlakukan norma penghitungan khusus. (Norma Khusus)
3.      Wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan neto wajib melakukan pencatatan harian atas peredaran usahanya.
4.      Wajib pajak yang mempergunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak (Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. (pada umumnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya).
5.      Norma berasumsi bahwa pengusaha menjalankan usaha mendapatkan laba, karena itu norma menimbulkan konsekuensi bahwa pengusaha selalu laba dan tidak pernah mengakui adanya kerugian, sehingga tidak ada kompensasi kerugian baik secara horisontal maupun vertikal. Untuk menghindari tidak diakuinya kerugian dan hak kompensasi tersebut, Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib pembukuan dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan sehingga pajak dihitung sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

DASAR HUKUM
Ø  Pasal 14 atau Pasal 15 UU PPh.
Ø  KEP­-536/PJ.2/2000 jo SE-02/PJ.43/2001 (Norma WP Orang Pribadi)
Ø  KMK-416/KMK.04/1996 jo. SE­29/PJ.4/1996, SE-28/PJ.43/1998 dan jo. SE-32/PJ.043/1998 (Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri)
Ø  KMK-­417/KMK.04/1996 jo. SE-32/PJ.4/1996 (BUT Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri)
Ø  KMK-634/KMK.04/1994 jo. Kep Dirjen Pajak Nomor KEP-667/PJ/2001 jo. SE-2/PJ.03/2008 (BUT Perwakilan Dagang Asing)

Senin, 02 Desember 2013

Rangkuman PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

Pengantar-1 "Penyidikan Pajak"

PENGANTAR-1
“PENYIDIKAN PAJAK”

Penyidikan Pajak

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. (Pasal 1 huruf 31 UU.KUP) Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan DIP dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 huruf 32 UU KUP).

Wewenang Penyidik Pajak

Wewenang Penyidik dalam bidang perpajakan adalah:

Ø  Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar menjadi lebih lengkap dan jelas.
Ø  Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan tindak pidana perpajakan.
Ø  Meminta keterangan dan bahan bukti dan orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen­dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
Ø  Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen.
Ø  Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ø  Memanggil orang yang akan dimintai keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
Ø  Menghentikan penyidikan.
Ø  Melakukan tindakan lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.

Dimulainya Penyidikan Pajak

Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Penghentian Penyidikan Pajak

Penyidikan terhadap WP dihentikan oleh penyidik apabila dari basil penyidikan:

Ø  Tidak terdapat cukup bukti, atau
Ø  Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau
Ø  Peristiwanya telah daluwarsa, atau
Ø  Tersangka meninggal dunia.
Ø  Dalam hal penyidikan pidana di bidang perpajakan dihentikan, kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka Surat Ketetapan Pajak tetap masih dapat diterbitkan.


Kewajiban Pemberian Data

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi berkaitan dengan perpajakan kepada Dirjen Pajak, seperti data APBN/APBD, pemenang proyek, expatriate, dan data lainnya yang diperlukan Direktorat Jenderal Pajak.